Sehari di Imigrasi
Hari Rabu kemarin, gue pergi ke Imigrasi Jakarta Selatan buat ngurus paspor. Sebenarnya gue pengen ngurus sendiri, tapi karena ada orang kantor yang biasa ngurusin dan kata bos gue, tidak baik merebut 'rezeki' orang lain, yah apa boleh buat. Toh gue cuma datang, nampang buat photo session (baca: diambil fotonya), book signing (baca: ambil sidik jari dan tanda tangan), dan press conference (baca: wawancara ama petugas imigrasi). Udah itu aja.
Biarpun gue gak ngeluarin duit sepeserpun, tetep aja rasanya miris melihat situasi yang ada. Calo emang gak terang-terangan banget ada. Tapi rasanya setiap orang yang ngurus paspor di
Artinya apa? Tentu saja keberadaan 'pendamping' ini diakui oleh para petugas.
Mau ngurus sendiri? Iseng-iseng gue ngelihat papan alur pengurusan paspor. Gila, panjang bangat. Udah gitu, kayaknya gak jelas dari mana dan ke mana kudu ngurus. Belum lagi antrian saat foto yang begitu mudah diserobot. Artinya apa lagi? Gue nggak mau berburuk sangka, tapi sepertinya emang tidak ada kemauan dari pihak birokrat sendiri untuk menciptakan sistem yang bersih. Itu sama dengan memotong bagian dasar dompet sendiri,
Akhirnya, gue sampai pada bagian terakhir wawancara. Dengan jelas, gue melihat duit dari ‘pendamping’ gue, berada di dalam map dokumen gue. Jumlahnya mungkin nggak banyak, paling sekitar Rp 15.000,00.
Sambil diwawancarai, gue memandang pewawancara gue. Dia masih muda, mungkin seumuran gue. Gue berpikir, kalau ada korupsi, ya biar saja yang tua yang melakukannya. Toh sudah bau tanah dan emang gak bisa diubah lagi sifatnya.
Tapi, melihat mbak petugas yang begitu muda sudah terlibat ke dalam 'lingkaran korupsi' ini, gue merasa ngilu. Rasanya seperti sudah capek-capek membuang rumput lama yang jelek, hanya untuk memendapatkan tunas baru yang jelek setelah membuang tunas yang lama.
Sambil pulang, gue berpikir. Dulu, seorang blogger pernah mengatakan untuk membersihkan Indonesia, Indonesia ini harus diHiroshima-kan. Harus dihancurkan hingga habis dan dibangun dari nol. Dia ngomong dalam konteks Sinetron Indonesia, sih. Tapi rasanya bisalah kita pakai untuk kasus ini.
Jauh di dalam hati saya, saya berharap tidak. Semua bencana ini sudah lebih dari cukup, Tuhan. Tapi kenapa ya, jalan menuju ke Indonesia Bersih rasanya lebih jauh daripada jalan kaki ke Neptunus? (Pluto dah bukan planet, katanya)