Ngajak Orang Lain Berbuat Baik Itu Susah.
Dalam jangka pendek, boikot itu akan berdampak. Misalnya, memungkinkan terjadinya PHK pada perusahaan-perusahaan milik atau yang memiliki hubungan dengan pusatnya di AS. Tetapi, mudharat itu akan berubah manfaat, jika warga kita bisa mengalihkan konsumsi ke barang-barang sederhana produksi dalam negeri.
Ini juga cara yang gampang. Saya nggak perlu pergi ke sana. Gak perlu demo di HI. Pokoknya nggak perlu ngapa-ngapain selain merubah daftar belanja saya. Bahkan kalau dipikir ini bisa jadi cara untuk mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri. Syukur-syukur kalau bisa buat Amerika sadar dan berhenti mendukung Israel. Kalaupun tidak, setidaknya saya berhasil mendidik diri saya sebagai konsumen yang aktif. Konsumen yang peduli pada masalah orang lain dan berusaha melakukan sesuatu, meskipun kelihatan kecil dan tidak berarti.
Dasar saya. Saya selalu senang ngajak orang lain. Maka, saya sebar ide saya ini ke forum. Di luar dugaan saya (meski saya sudah ngajak dengan cara paling manis yang pernah saya pikirkan), ide saya ditolak mentah-mentah. Otak saya dibilang otak spagettilah. Saya dibilang provokatorlah. Malah ada yang menuding saya mau memindahkan konflik Arab ke Indonesia.
Pada saat membacanya, hati saya miris sekali. Sempat ingin nangis, rasanya. (Ah, saya memang terlalu sensitif). Orang saya ingin mengajak berbuat baik, kok malah digituin?
Cukup lama saya berpikir. Kemudian, saya teringat pada ibu saya. Ibu saya itu paling rajin nyuruh saya sholat dan saya paling rajin untuk bilang, "nanti!". Kalau sudah begitu, ibu saya pasti teriak, "Kamu itu gimana, sih! Diajakin berbuat baik kok gitu!"
Tentu saja, saya nggak berani membalas. Saya hanya bilang dalam hati bahwa bagi saya, sholat adalah masalah pribadi. Terserah saya kapan saya mau sholat. Tapi, sekarang saya berpikir ulang. Mungkin alasan saya membangkang adalah rasa egois saya. Saya membangkang untuk menunjukkan saya bisa membangkang (meskipun pada akhirnya saya tetap kalah juga).
Mungkin itu juga yang terjadi pada kasus ajakan boikot saya. Pada dasarnya, manusia itu (terutama manusia Indonesia) memiliki sifat egois, tidak mau diatur. Tidak peduli ajakan itu baik atau buruk, kalau nggak mau ya nggak mau aja.
Tentu saja ada bumbu alasan lain (buat menutupi alasan nggak mau tadi). Ada yang ngomong kalau itu masalah orang lain (hmm... bagaimana ya kalau kita yang dibom dan orang lain berpikir demikian?) atau ngapain kita ngurus orang lain padahal negara sendiri juga juga masih susah (padahal kalau orang mau niat ngebantuin, biar miskin tetap bisa, lho).
Di satu sisi, saya tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa karena ini adalah ajakan moral, di sisi yang lain hal ini membuat saya semakin mengenal orang Indonesia. Yah, itulah manusia Indonesia. Manusia Indonesia cuma gampang diajak satu hal, diajak makan siang gratis. Meski kata bos divisi sebelah, makan siang gratis itu tingkatan makan-memakan yang paling rendah. Yang paling tinggi? Ya ngasih makan orang lain. Makin banyak dan makin mahal tempatnya, makin tinggi gengsinya. Ah, ego... ego.