In the Memory of Momo
Biasanya, saya harus memanggil berkali-kali hingga akhirnya saya menyerah dan masuk pintu. Pada saat itulah biasanya saya nyaris menginjak sebuah benda hitam kecil berbulu, kucing saya. Matanya yang bulat akan langsung memandang saya dan mengeong minta makan. Lalu saya akan membuka pintu rumah dan bertanya pada siapapun yang sama temukan.
"Emang kucingnya belum dikasih makan?”
"Udah! Itu kucing sudah dikasih makan pagi, siang, sore!"
"Tapi kok masih ngeong-ngeong?"
"Dia sih berapa kali dikasih makan masih ngeong terus!"
Meskipun sudah diwanti-wanti oleh orang rumah, tetap saja saya tidak tega. Saya tetap saja mencuili sisa ayam dalam sup atau mencuri-curi waktu untuk menyelundupkan sedikit friskies. Nasib saya paling sial paling hanya diteriakin, "Hayo! Ngambil buat Momo, kan?" atau "Udah! Kucingnya nggak usah dikasih makan lagi!" Apapun tegurannya, jawaban saya hanya satu, senyum yang luar biasa lebar.
Tapi, kesenangan saya ini terhenti ketika Sabtu kemarin, saat saya pulang dari kantor, saya menemukan anomali.
Ia tidak merespon panggilan saya.
Betapapun seringnya saya memanggil namanya, ia tidak keluar. Tidak ada gulungan hitam. Tidak ada bunyi lonceng dari kalung yang dipasang oleh adik saya di leher. Lebih mengherankan lagi, kardus tempat tidurnya telah dibersihkan dan dikeringkan sementara tempat makan dan minumnya sudah tidak ada.
Pada saat itulah, saya tahu ada sesuatu yang salah.
Mendadak, saya teringat akan mimpi saya semalam. Saya bermimpi menggandeng bocah laki-laki kecil berambut hitam dengan pakaian hitam. Kami berjalan bersama hingga satu titik bocah itu memakan sebuah semangka dan meninggal. Perasaan saya sangat sedih ketika bangun.
Adik membuka pintu rumah saya dan menggugah pikiran saya.
"Momo sudah meninggal, ya," tebak saya sebelum dia sempat berkata.
"Ya," katanya.
Saya sudah tahu itu jawabannya, tapi tetap saja saya merasa ada lubang terbentuk di dalam hati saya.
"Kapan?"
"Tadi pagi. Jam sembilan."
Jam sembilan. Pada saat itu saya sedang asyik-asyiknya browsing internet di kantor sementara kucing saya sekarat.
"Tadi pagi saja dia sudah kepayahan, mbak. Sudah nggak mau makan. Aku sudah bilang, Momo bertahan hidup ya. Jangan mati. Dan dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk hidup. Tapi wajahnya akhirnya terlihat lelah. Ia ingin istirahat. Waktu kutinggal ke dalam sebentar untuk ngambil makanan, tubuhnya sudah kaku."
Saya terdiam untuk sesaat. Saya bukan hanya merasa sedih, tapi juga merasa sangat bodoh. Mendadak saya berada di dalam ruangan dalam dramanya The Importance of Being Earnest karya Oscar Wilde dengan tokohnya, Lady Bracknell menyindir saya,"Kehilangan satu kucing adalah sebuah kemalangan. Tapi kehilangan tiga kucing, adalah kecerobohan!" *)
Dan itulah yang saya rasakan. Saya ceroboh. Saya tidak bisa mengurus tiga ekor anak kucing dengan baik sehingga akhirnya saya kehilangan tiga-tiganya. Mereka menambah daftar kucing-kucing saya yang telah pergi.
Saya belajar dengan cara yang pahit bahwa mengurus makhluk hidup bukanlah hal yang mudah. Bahwa mengurus makhluk hidup tidaklah cukup dengan makan dan minum saja. Bahwa mereka adalah makhluk yang rumit yang harus diurusi segalanya: ke mana mereka bermain, di mana mereka tidur, bagaimana kalau nanti turun hujan, apakah mereka sehat-sehat saja. Saya juga belajar bahwa mungkin saya belum cukup baik untuk menjadi seorang ibu. Bahkan mungkin saya adalah ibu yang seperti dikatakan Lady Bracknell, ceroboh. Kasarnya, orang ngurus kucing aja mati, apalagi ntar ngurus bayi? Haah... Semoga saya tidak mengambil kesimpulan terlalu jauh.
Sekarang, saat saya pulang dari kantor, saya seringkali tergoda untuk memanggil namanya dan berharap ada makhluk hitam kecil yang berlari-lari datang atau menutupi jalan masuk saya dengan tubuhnya. Saya berharap kepergiannya tak lebih dari mimpi buruk dan saat bangun saya masih bisa melihat tampang jeleknya. Ah, saya benar-benar merindukan makhluk itu. Setidaknya, sampai saya menemukan penggantinya.
*) Dalam cerita aslinya, Lady Bracknell berkata pada Jack Worthing, "To lose one parent, Mr. Worthing, may be regarded as a misfortune; to lose both looks like carelessness."