Saat Rekanmu Berhasil Membuat Novel Baru dan Membuatmu Seperti Seorang Pecundang Besar
Hari ini saya membaca berita tentang teman saya yang berhasil (sekali lagi) menerbitkan buku. Ollie (lihat linknya di side bar saya), teman seperjuangan saya dulu di Jakarta School berhasil mencetak skor dengan buku Je M'appelle Lintang, sementara Farah Hidayanti sudah berhasil memenangkan lomba menulis Grasindo (Juara Pertama, Rek!) dan menerbitkan novel terbarunya lagi: Menemukan Alexandra.
Saya mencoba menenangkan diri saya saat membaca berita ini. Mereka membuat buku, so what? Saya juga membuat buku meskipun nama saya tidak pernah ada di sampul buku. Saya membidani kelahiran buku-buku, membersihkannya dari kotoran dan membuat agar semua orang yang melihatnya bisa tersenyum. Saya membantu menimang-nimang buku tersebut bahkan saat pemilik buku itu tidak terlalu peduli. Saya memiliki sisi yang bisa dibanggakan, kok.
Lalu kenapa saya tetap kesal? Apakah saya iri?
Setelah lama berpikir, mungkin yang saya rasakan bukanlah iri, tapi lebih kepada perasaan kalah. Saya tahu menulis buku bukanlah balap lari atau pertandingan bola. Saya juga tahu menulis buku bukanlah menggoreng telur ceplok yang tinggal menyalakan kompor, memasukkan telur dan voila, jadi. Membuat buku jauh lebih kompleks dari itu. Lagipula ada beberapa penulis yang memang late stater.
Seperti John Grisham, misalnya. Ia baru menulis novel setelah menjadi pengacara dan berusia tiga puluh tahunan. Mungkin juga ada penulis yang jauh lebih tua saat mereka memutuskan untuk menulis. Apakah saya seorang late stater? Saya harap tidak. Saya tidak mau menunggu kepala saya ubanan dulu baru menerbitkan novel. Mana enak menjadi terkenal saat sudah tua. Lebih enak menjadi muda dan terkenal, bukan?
Mungkin juga karena saya merasa dengan kemampuan yang saya miliki, saya seharusnya bisa seperti mereka. Saya seharusnya bisa menyelesaikan sebuah novel dan mengirimkannya entah ke penerbit mana. Saya seharusnya bisa membanggakan diri saya dengan memajang nama saya di depan cover buku dan bukannya terus-terusan ‘bersembunyi’ di dalam buku. Saya seharusnya… saya seharusnya… Ah, terlalu banyak kata seharusnya.
Saat ini saya tengah menunggu pengumuman dari lomba dongeng Bobo (lucu rasanya akhir-akhir ini saya malah lebih banyak memikirkan dongeng daripada novel) serta berjuang membuat cerita bersambung untuk Femina. Konsepnya sudah ada dan saya berharap saya berhasil menamatkannya.
Meskipun kesempatan untuk menang lomba dongeng Bobo amat tipis, saya berharap ada sedikit kabar baik dari sana. Nggak papa kalau harus jadi juara buntut seperti dua tahun yang lalu. Saya butuh kabar baik. Ah, kabar baik. *menghela nafas* Ya, saya butuh sedikit kabar baik untuk mengingatkan saya bahwa mungkin saya masih memiliki darah menulis di bawah kulit saya.