Gue seharusnya jadi penulis....
You Should Be a Film Writer |
You don't just create compelling stories, you see them as clearly as a movie in your mind. You have a knack for details and dialogue. You can really make a character come to life. Chances are, you enjoy creating all types of stories. The joy is in the storytelling. And nothing would please you more than millions of people seeing your story on the big screen! |
He..he..he... meskipun jadi penulis film bukan tujuan utama hidup gue sekarang, gue emang seneng banget membayangkan cerita gue difilmkan. Penulis mana coba yang gak suka? Iya, gue juga bisa melihat cerita gue lengkap dengan latar belakangnya bergerak di otak gue seperti sebuah film.
Amin.... semoga beneran tercapai....
posted by dee @ 10:01 PM
Tuesday, March 21, 2006
posted by dee @ 4:56 PM
Friday, March 17, 2006
posted by dee @ 5:16 PM
Sunday, March 12, 2006
posted by dee @ 9:34 PM
Friday, March 10, 2006
posted by dee @ 10:08 PM
Thursday, March 09, 2006
posted by dee @ 5:01 PM
Wednesday, March 08, 2006
posted by dee @ 5:00 PM
Wednesday, March 01, 2006
posted by dee @ 10:04 PM
Dua Manusia, Tiga Bayi Kucing, dan Tiga Peri Kucing yang tidak berguna.
Di suatu minggu siang yang mendung di sudut Jakarta, terdengar suara miaw yang panjang dan lirih. Begitu pelan, hingga nyaris tak terdengar. Hanya telinga sensitif para peri kucing saja yang bisa mendengarnya. Maka saat malam turun, turunlah juga tiga peri kucing dari khayangan para kucing ke bumi(*). Debu-debu peri yang berkilauan dari kepakan sayap mereka mengiringi langkah mereka yang ringan hingga akhirnya mendarat di atas tanah.
Kemudian, ketiganya mulai menari dan bernyanyi.
"Oh, wahai kucing manis yang kecantikannya memancar ke seluruh dunia, di manakah engkau berada?" tanya peri kucing yang berwarna putih. Dia baru dua hari bekerja, jadi wajar kalau sedikit dramatis.
Yang berbulu tiga warna terbang berkeliling dan mengenyitkan dahinya. "Kok di garasi begini? Yakin gak salah alamat?"
"Lah meongannya berasal dari sini, kok," balas peri kucing hitam. "Lagipula apa salahnya lahir di garasi?"
Si bulu tiga warna. "Semua kucing itu harusnya lahir di dalam rumah, tahu. Bukan di garasi seperti ini! Hanya anjing dan tikus yang lahir di garasi seperti ini!"
Sang peri kucing putih tidak memerdulikan kedua rekan kerjanya. "Oh kucing manis... di mana eng..." Mata kucing putih itu tertumbuk pada tumpukan hitam tepat di bawah mobil tua dan membesar, " Aaaarggghhhh! Mereka ada di bawah mobil!"
"Apa?"
Ketiganya memandang mobil tua gallant berwarna biru itu. Mereka sama sekali tidak menduga akan menghadapi situasi seperti ini. Mereka sudah pernah menghadapi kucing lahir di bawah jembatan, atau di dekat tempat sampah, tapi di bawah mobil tua?
"Gimana caranya masuk?" Wajah si kucing putih menjadi cemas.
"Udah nembus aja. Kita kan makhluk halus." Yang berbulu hitam bersiap-siap masuk, tapi keburu ditarik si tiga warna.
"Enak aja! Terus badan gue nembus mesin-mesin tua bau oli, gitu! Ih, ngebersihinnya susah, tahu. Itu minyak! Ntar gue disuruh mandi lagi. Nggak mau!"
Saat sedang sibuk membicarakan strategi memberikan berkat tanpa harus terkena oli, mendadak muncul dua manusia berjenis kelamin perempuan dengan membawa kardus dan senter di tangan. Dengan cepat keduanya mengintip ke bagian bawah mobil.
"Ada dua! Bukan cuma satu!"
"Apaan dua? Ada tiga! Dua hitam, satu belang tiga."
"Aduh, gimana ngambilnya? Pas di bawah mesin, lagi! Kalau dibiarin ntar kelindes mobil, lagi!"
Kedua perempuan manis itu saling memandangi.
"Panggil dulu emaknya. Loe sorotin, ya. Gue ambil dari sini."
Ketiga peri kucing itu memperhatikan kedua manusia itu sibuk menarik anak kucing dari bawah mobil. Tidak mudah memang karena si induk malah mengambil kembali anaknya yang sudah dipindahkan. Tapi akhirnya, mereka berhasil menempatkan induk dan anaknya ke dalam kardus.
Ketiga peri itu tersenyum senang. Kalau begini kan pekerjaan mereka bisa jauh lebih bersih. Sembari memandangi ketiga bayi kucing yang masih terlelap itu, mereka memberikan berkat mereka.
"Kuberikan engkau sembilan nyawa." kata peri kucing yang memiliki bulu hitam legam. Ia mengayunkan tongkatnya dan debu-debu berwarna hitam bertaburan di atas bayi-bayi itu.
"Kuberikan engkau berkatku agar berhasil menguasai dunia." kata peri yang memiliki bulu tiga warna. Debu-debu berwarna putih, hitam, dan kuningpun berhamburan.
"Kuberikan engkau do'a agar semua manusia... hey, tunggu dulu." teriaknya saat kedua gadis manis itu mengangkat kardus itu. "Aku belum selesai kerja! Ntar aku dipecat, lagi!" Dengan susah payah ia terbang mengikuti langkah manusia itu dan menyelesaikan berkatnya, "...semua manusia mencintaimu."
Kedua manusia itu sama sekali tidak peduli. Apa ketiga peri kucing itu tidak tahu bahwa semua kucing memang sudah terlahir demikian sejak lahir? Sama sekali nggak berguna. Lain kali, bawa whiskas kitten aja ya, peri!
(*) Kenapa malam? Soalnya kalau siang, debu perinya nggak kelihatan. Kan kurang kerennya jadinya.
The Day Dee Broke Her Promise (again....*sigh*)
Bukan janji besar, sih. Bukan janji menyelamatkan dunia atau janji melepaskan diri dari kecanduan terhadap something gitu. Tapi, tetap saja rasanya tidak enak mengingkari janji.
Janji itu adalah... janji menyelesaikan draft naskah novel gue. Haaa.....*tarik nafas lagi*
Sebenarnya ini adalah janji pada diri sendiri yang udah gue pasang gede-gede di situs multiply gue.
Benar-benar memalukan. Gue yang berkali-kali menyuruh orang untuk menyelesaikan naskah para penulis, ngamuk-ngamuk kalau naskah mereka gak kelar-kelar, tapi gue sendiri mengalami kesulitan menulis naskah.
Bukan menyelesaikan lho, lebih parah lagi menulis. Padahal apa coba masalahnya. Ide udah ada di kepala, komputer udah ada di depan mata... Duh..duh.. duh.... apalagi coba.
Mungkin ini penyakit lama gue, penyakit yang takut hasilnya gak sempurna. Padahal mana ada sih penulis yang sekali nyoret jadi masterpiece.
Apalagi kalau gue ngebaca karya yang lebih bagus dari gue. Duh, langsung mengkeret rasanya. Emang gak banyak banyak sih yang gue baca akhir-akhir ini. Paling Game of Thrones-nya George R.R. Martin. But still..... gue baca prolognya aja dan rasanya gue pengen begini:
Mungkin juga gue terlalu capai akhir-akhir ini. Tuntutan kerja makin tinggi. Ritme kerja makin naik, dan bos semakin panik lantaran bulan april udah di depan mata sementara buku nggak terbit-terbit juga. Saat pulang tuh badan gue pegel banget sampai pengen rontok rasanya. Mungkin kalau onderdilnya bisa diganti, bakal gue ganti kali.
Gue sempat memaksakan diri untuk menulis, tapi akhirnya yang gue tulis isinya sup laler ijo semua... haaaa.... menyebalkan sekali. Kalau sudah begitu pelarian gue cuma satu, nonton VCD. Iya, gue malah menghabiskan beberapa hari terakhir ini untuk nonton k-drama, Cat On The Roof. Iyalah, kan gue harus tahu drama yang sama judulnya dengan blog gue ini. Satu malam, gue bisa nonton 3 jilid, coba. Padahal kalau semua waktu itu dipakai untuk nulis, berapa banyak coba halaman yang bisa jadi.
Atau sebenarnya akar permasalahannya cuma satu: malas.
The Truth About Being An Editor
"Emang jadi editor itu gak enak, ya?"
Hueee????
Kok Droo jadi mikir gitu? Emang, begitu ya yang tersirat?
Baiklah, daripada kesalahanpahaman ini semakin panjang, lebih baik gue perjelas saja.
Jadi editor itu enak kok pada dasarnya. Yah setidaknya kalau loe adalah tipe seperti gue. Tipe yang merasa senang bisa dapat duit dari mencaci maki tulisan orang lain. Lagipula, di mana lagi loe bisa merasa sebagai dewa dan mengatur apa yang harus dilakukan penulisan and still paid for that?
He..he..he....
Gue nggak pernah menyesal kok bekerja sebagai editor. I mean, kalau gue harus reinkarnasi sepuluh kali, mungkin gue juga akan tetap memilih pekerjaan sebagai editor. Setidaknya itu yang bakal gue pilih dibandingkan kerjaan sales (gue paling gak bisa disuruh ngebujuk orang membeli) atau jadi kuli bangunan (nah jauh banget perbandingannya).
And I do love this job, actually (kecuali soal duitnya ) Di sini gue punya teman-teman yang asyik. Teman-teman yang bisa diajak gaul dan diajak gila afterwork. Bos gue juga asyik dan selalu men-support anak buahnya. Maksud gue, di dunia ini bisa aja kan gue dapat bos yang aneh-aneh atau rekan kerja yang suka menggaruk dari belakang. Makanya gue beruntung banget mendapatkan mereka semua.
Hanya saja namanya orang, namanya pekerjaan kan kadang-kadang bisa bikin jenuh. Bisa bikin orang , , atau .
Or maybe it's just my bad day.
You're taking one down
You sing a sad song just to turn it around
You say you don't know
You tell me don't lie
You work at a smile and you go for a ride
You had a bad day
The camera don't lie
You're coming back down and you really don't mind
You had a bad day
You had a bad day
Should I Quit?
Pertanyaan besar ini berputar-putar terus di kepala gue selama berhari-hari.
Keluar.... Tidak.... Keluar... Tidak....
Lalu blogthings.com mendengar pemikiran gue (yes, people. They can read other people mind....)Dan jawaban si mbah dukun online ini adalah.....Your Job Dissatisfaction Level is 56%
Well, you don't have the worst job in the world, but it's not great.
And don't worry, you're not the problem - your company is.
Start looking around for another job, even if you're not totally fed up.
Because in time, you're going to be dying to quit!
Woooo scary..... kok tahu sih mbah?
Dear All Horrible Writers
As an editor, this is what I always want to say to all the horrible scripts I received:
Your manuscript is both good and original, but the part that is good is not original and the part that is original is not good.
Samuel Johnson (1709 - 1784)
or even this:
Advice to writers: Sometimes you just have to stop writing. Even before you begin.
Stanislaw J. Lec (1909 - 1966), "Unkempt Thoughts"
But, as a writer, honestly, that's not the thing I want to hear from my editor. (^_^)
Kejutan di Hari Rabu
Hari ini mendadak Mr. H, the editor-in-chief, datang ke meja gue. Dua kali, malah. Ini adalah anomali. Keajaiban Dunia. Atau sebenarnya bisa dikatakan kejadian langka. Sama langkanya dengan komet Halley melintasi bumi. Ya, kira-kira begitulah.
Alasan pertama beliau ke meja gue sih alasan standar, mengembalikan paper yang sudah ditandatangi. Biasalah itu.
Nah yang kedua ini yang nggak biasa. Beliau ngasih amplop dari penulis.
Oke. Sebelumnya harus gue kasih tahu kalau sebenarnya biasa aja tiap tahun penulis ngasih bonus ke editornya melalui Mr. Chief. Jumlahnya tentu aja suka-suka penulis. Namanya juga bonus. Yah, pokoknya bisalah buat modal kawin. Lho?
Yang nggak biasa adalah perasaan gue sendiri ketika menerima bonus itu. Padahal tahun lalu gue juga menerima bonus. Tapi tahun ini... it's really pissed me off.
Bukan soal nilainya. Sekali lagi, namanya juga bonus. Dikasih syukur, nggak dikasih keterlaluan. Gyahahahaha... nggak, ding.
Mungkin yang terjadi pada diri gue ketika membuka amplop itu adalah semacam terbukanya mata gue. Kalau mereka (penulis) bisa ngasih bonus segitu, berapa coba royalti yang mereka terima? Istilahnya seperti orang makan di restoran dan loe ngasih tips ke pelayannya. Jumlahnya pasti sepantasnya sesuai dengan jumlah nilai yang loe makan. Gitu nggak sih? Yah, paling gak kalau gue ngasih tips sih gitu. Yang coba gue katakan adalah gak mungkin kan loe ngasih segitu kalau loe gak dapat lebih dari itu?
Dan mereka bisa dapat royalti segitu gede bukan karena kerja keras mereka, tapi karena kerja keras gue. Gue yang pontang panting memperbaiki naskah mereka, ngejar-ngejar orang produksi sekaligus dikejar-kejar orang pemasaran. Mereka tuh istilahnya cuma nyerahin naskah, nunggu buku dicetak, terus nunggu royalti. Don’t they know that there’s a painful process in between?
Perasaan ini yang membuat gue berpikir panjang setelah menerima amplop. Apa yang gue lakukan selama ini di tempat ini? Kenapa gue masih aja mau di tempat ini dan jadi editor sementara gue mungkin bisa dapat lebih kalau jadi penulis? *Jeduk-jedukin kepala ke monitor kantor. Biarin. Bukan punya gue ini.*
Gosh! I really should stop hurting myself.
Kreativitas yang Patah
Suatu siang, karena tuntutan pekerjaan, saya dan rekan kerja satu divisi harus bertemu dengan rekan kerja dari divisi lain yang sebelumnya memang tidak terlalu sering bekerja sama dengan saya. Ia adalah seorang cover designer dan terus terang memang selama ini saya tidak pernah cocok dengan cover buatannya. Saya memang bukan orang desain, tapi saya tahu kok kalau desainnya tidak bagus, paling tidak untuk standar saya.
Setiap kali saya mengkritisi pekerjaan dia, dia hanya, "Hmm...Hmmm..." dengan wajah seperti saya baru saja menimpakan sepuluh lemari di atas kepalanya.
Tapi saat siang itu saya bertemu dengannya untuk mengkritisi hasil pekerjaannya, saya terkejut atas respon yang ia berikan.
Saat saya mengatakan,
"Jangan kotak-kotak begini dong, kan kesannya kaku."
Ia justru mengatakan.
"Lah di sini kan semuanya terkotak-kotak."katanya dengan cuek.
Saya terkejut mendengar jawaban seperti itu. Saya berharap ia membela desainnya, menjelaskan kenapa ia mendesain seperti itu. Lalu saat saya memberikan contoh cover buku dari luar negeri, ia justru berkata,
"Lah kenapa nggak dari kemarin-kemarin."
"Lho kan supaya mas bisa kreatif memikirkan cover."
"Lah ngapain kreatif di sini. Rugi."
Saya sedih melihat dia begitu tidak peduli pada masukan kami, tapi saya lebih terkejut saat mendengar bagaimana dia begitu tidak peduli dengan hasil karyanya sendiri. Sejak awal memberi job, saya memposisikan diri saya sebagai pekerja seni yang tidak mau diatur secara detil. Kalau saya jadi dia, saya hanya ingin diberi garis besarnya dan biarkan saya berkreasi.
Saya tidak ingin mendikte dia seperti layaknya mandor kepada buruh. Tapi yang terjadi adalah ia seperti sengaja merubah dirinya menjadi robot pekerja. Kreativitas seninya (kalau dia memang punya) telah patah atau bahkan mati. Ia tidak peduli karyanya dibilang bagus atau jelek. Yang penting selesai. Saya paham bahwa kreativitas seorang seniman yang masuk ke dalam sistem perusahaan menjadi tidak bisa bebas untuk menjadi dirinya sendiri karena ada aturan main perusahaan. Tapi hidup ini juga adalah sebuah dunia penuh dengan aturan main. Masalahnya apakah kita akan membiarkan aturan main itu membatasi kita?
Kalau jadi dia, saya akan malu menjadi desainer yang memiliki hasil seperti itu. Setiap karya saya adalah cerminan diri saya. Saya adalah brand dari produk yang saya luncurkan. Kalau seorang Dee sampai memiliki produk yang di bawah standar Dee, itu akan menurunkan reputasi seorang Dee.
Saya pernah mendengar percakapan di radio yang saya dengar tanpa sengaja ketika berbelanja di supermarket... (ibu-ibu banget ya... ^_^). Penyiarnya membacakan sebuah surat yang berisikan keluhan seorang pegawai yang merasa kreativitasnya tidak dihargai oleh tempatnya bekerja. Darinya, saya mendapatkan nasehat yang paling berharga pagi itu. Ingin tahu apa nasehat penyiarnya?
Jika Anda merasa tidak dihargai di tempat kerja Anda, buatlah diri Anda agar dihargai di tempat lain.
Artinya, jika sekarang Anda merasa tidak dihargai, bukan berarti Anda patah berkreativitas. Teruslah berkreasi. Teruslah mencipta sesuatu yang berbeda. Bila perusahaan Anda tidak menghargai Anda, itu adalah kebodohan perusahaan Anda, bukan Anda. Perusahaan Anda yang akan rugi kehilangan orang sekreatif Anda. Kelak, entah bekerja sendiri atau bekerja di perusahaan baru, Anda bisa membanggakan hasil kerja keras Anda.
Kerja keras, pada akhirnya, akan menemukan penghargaannya sendiri. Percayalah.