Rumah terkutuk di depan rumah nenek...
Tahun ini, gue mendapat kejutan besar ketika pulang kampung ke Magelang. Sepetak tanah kecil di depan rumah nenek gue menghilang, berganti dengan sebuah rumah lumayan mencolok dan sama sekali tidak matching dengan bentuk dan posisi aneh.
Pertama-tama, bentuk lahan itu trapesium dengan bagian yang memanjang menghadap ke jalan. Artinya, memang dari asalnya, lahan itu memang nggak diperuntukkan untuk dibangun, karena berarti posisinya bakal aneh sendiri.
Ketiga, intinya, semua orang yang memiliki rumah di depan jalur hijau itu menyayangi tanah sepetak itu.
Tentu saja hal ini sangat menyakitkan. Buat gue, itu adalah pencabutan kenangan masa kecil karena dulu gue sering main di sana. Selain itu bayangin aja, jalur hijau yang sudah capai-capai dirawat warga diambil begitu saja. Padahal yang namanya jalur hijau
Setiap kali memandang rumah itu, gue ingin sekali menghancurkannya. Nggak ada lagi yang tersisa dari taman bunga mawar itu kecuali pohon rambutannya yang dibiarkan tetap tinggal. Untungnya rambutan itu berbuah masam sekali (gue percaya buahnya masam karena dikutukin orang sekampung). Bagaimana bila tidak sengaja gue membakarnya seperti Susan di salah satu episode Desperate Housewives? Gue yakin orang sekampung mau mengcover gue. Toh mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menggerutu dan mengutukinya setiap hari. Yah, mau menuntut kepada siapa? Makanya nggak heran kalau waktu pagar pembatasnya remuk ditabrak tentara, gue seperti bisa melihat semua orang berdiri dan membuat body waves.
"Yang, tahun depan kalau rumah depan sudah ada penghuninya mau dikasih juga, nggak?"
"Ya dikasih." kata beliau sembari mengguyurkan kuah opor ke atas daging ayam. Gue nyaris nggak percaya. Oh, nenek betapa besar jiwamu.
"Apa tadi?"
Gue mengulangi pertanyaan sekali lagi.
"Nggak." kata beliau ketus.