Tentang Janji
Apa sih susahnya menepati janji?
Gue paling benci memulai hari dengan perasaan amarah di dada gue karena gue tahu perasaan sebel itu bakal ngerusak seluruh hari gue. Tapi pagi ini gue nggak bisa menghindarinya karena pagi-pagi gue udah ditipu orang.
Namanya pelakunya: kenek Mayasari Bakti P 9B Jurusan Bekasi – Kampung Rambutan.
Yeah. Gue ditipu untuk kesekian kalinya.
Dulu banget gue pernah ditipu. Ngakunya bis lewat jalan baru pasar rebo, ealah nyatanya malah lewat jalan tol. Tapi itu dah lama banget. Lately, gue naik 9B dan mereka mau lewat jalan baru. Jadi gue pikir, oh mereka sudah tobat. Mereka nggak bohong dan bisa dipercayai. Asal gue tanya baik-baik buat memastikan melalui jalur di mana gue turun, mereka juga bakal lewat itu.
Tapi, gue lengah. Kepolosan gue dinodai... kepercayaan gue dirusak begitu saja. Gue lupa kalau yang namanya gelas yang retak akan selalu jadi gelas retak. Kepercayaan yang udah dirusak nggak bisa diperbaiki alias sekali jadi pembohong bakal jadi pembohong terus seumur hidup. (Ini adalah kesimpulan yang gak sepantasnya gue tarik karena terlalu menggeneralisasi, tapi demi keselamatan gue sendiri gue ambil)
Dee: “Lewat jalan baru nggak, Bang?”
Kenek-sialan-tukang-bohong-tukang-ngerusak-puasa-orang: "Iya. Naik, mbak. Naik."
Dan dia ngerusak pagi gue yang indah dengan berkata di pasar rebo:
Kenek-sialan-tukang-bohong-tukang-ngerusak-puasa-orang: "Pasar rebo jalan baru habis. Lewat jalan tol!"
Gue mula-mula nggak ngeh. Tapi kemudian, saat sadar semua orang turun, mulai mencium rencana busuk kenek itu.
Dee-dalam-hati-ngamuk-tapi-menahan-diri-karena-puasa: "Gimana sih, Bang. Katanya lewat jalan baru!"
Kenek-sialan-tukang-bohong-tukang-ngerusak-puasa-orang-dan-kabur-
terbirit-birit: "Naik berikutnya aja."
Gue saat itu benar-benar jengkel! Kalau nggak ingat puasa udah gue caci maki itu orang. Kalau nggak niat lewat jalur gue turun kenapa harus bohong? Apa sih beratnya bilang, "Nggak, Mbak. Nggak lewat situ!"
Gue dan dia sama-sama enak! Dia nggak nambah dosa hanya karena berbohong demi Rp 1.500,00 dan gue nggak bakal nambah dosa juga karena marah-marah. Lagipula ini bulan puasa, for God’s sake!
Bagaimana kalau gue adalah nenek-nenek yang gak tahu daerah itu sama sekali?
Bagaimana kalau gue udah gak punya ongkos buat ngelanjutin perjalanan?
Itu jahat sekali!
Itu analoginya sama seperti percakapan di bawah ini:
Cewek : Do you love me?
Cowok : I do. (Padahal dalam hati nggak cinta, tapi karena ada maunya bilang I do)
Lalu di tengah perjalanan, setelah si cowok mendapatkan apa yang dia inginkan, seenaknya aja ngedump si cewek dengan alasan, "Jangan khawatir, masih ada cowok berikutnya."
Oke. Mungkin menghubungkan masalah cinta dengan kejadian di bis agak sedikit berlebihan. Tapi ngerti maksud gue kan?
Ini bukan masalah masih ada bis berikutnya, cowok berikutnya, atau apa. Ini masalah janji! Orang kalau sudah berjanji kan harus ditepati. Begitu kan aturan mainnya jadi manusia? Dan kalaupun pada akhirnya dengan alasan tertentu tidak bisa menepati, mintalah maaf dan berusaha menebus janji itu! Bukan seenaknya aja membuang orang dan kabur seperti maling jemuran dikejar massa satu RT!
Atau memang gue yang berlebihan? Apa gue tinggal satu-satunya orang di dunia ini yang masih menganggap penting sebuah janji? Yang menganggap janji yang udah dibuat gak boleh dilanggar? Yang menganggap omongan yang sudah keluar itu harus dipegang dan gak boleh dijilat kembali?
Atau memang semua laki-laki seperti itu? (Hueh? Kok jadi bawa-bawa cowok sih?) Atau memang kata Ustadz Jeffry benar? "Jangan percaya omongan laki-laki kecuali dia melamarmu."